
Jakarta, - Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dinilai mengabaikan hak nelayan. reklamasi yang kerap menggusur nelayan kian memasifkan pengaplingan kawasan laut bagi tujuan komersialisasi.
Perpres No 122/2012 ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Desember 2012. ”Dengan itu, negara menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan menggusur masyarakat nelayan dari sumber kehidupannya,” kata Slamet Daroyni dari Divisi Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Sabtu (16/2), di Jakarta.
Ia menilai perpres itu mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang mengamanatkan hak-hak konstitusional nelayan yang harus dilindungi, dijamin, dan dipenuhi negara. Apalagi, 16 Juni 2011, MK menegaskan hak konstitusional nelayan untuk mengakses (melintasi) laut, memanfaatkan sumber daya laut, mengelola sumber daya laut sesuai kearifan lokal dan tradisi bahari turun-temurun, serta mendapat lingkungan hidup dan perairan bersih dan sehat.
Melalui putusan MK itu, lanjut Slamet, seharusnya Presiden memerintahkan aparatnya menertibkan kebijakan berpotensi mengapling dan mengomersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. ”Bukan sebaliknya, melegalisasi penggusuran nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil,” kata dia.
Menurut dia, tak ada reklamasi bertujuan menyejahterakan warga pesisir atau nelayan.
”Di sejumlah tempat yang terjadi justru marak penggusuran, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta hilangnya akses nelayan melaut. reklamasi modus melindungi perumahan, pergudangan swasta, dan kawasan elite berbayar lain. Perpres No 122/2012 harus dicabut,” kata aktivis Institut Hijau Indonesia itu.
Dampak negatif
Data Kiara, hingga Januari 2013, setidaknya 15 kabupaten/ kota di Indonesia menjalankan proyek reklamasi di pesisir dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, bisa lebih buruk.
reklamasi pantai mengubah bentang laut dan aliran air di kawasan reklamasi. Ini mengubah tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang-surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan penurunan daya dukung lingkungan hidup. Bahan uruk material juga merusak ekosistem perairan dan ekosistem sumber material.
Secara terpisah, saat ditemui di Manado, 11 Februari 2013, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad mengatakan, perpres tentang reklamasi ini sudah mempertimbangkan ekologi, sosial, dan ekonomi. ”Izin lokasi harus sesuai tata ruang, tidak boleh sembarangan,” kata dia.
Terkait reklamasi pembangunan pulau buatan di Teluk Jakarta, lanjut dia, bisa diselesaikan dengan memanfaatkan sedimen Waduk Pluit. Itu sudah dibicarakan dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
.
”Di satu sisi, Waduk Pluit jadi dalam dan menampung banyak air saat hujan. Di sisi lain, tanah urukan pembuatan pulau tak perlu didatangkan dari jauh. Hanya saja, jangan menimbulkan ceceran ke air laut,” kata Sudirman. (ICH/Kompas)

0 Response to "Flashback 2012: SBY Buat dan Sepakati Perpres Reklamasi "
Posting Komentar